Kamis, 01 April 2010

Kemurnian Cinta

Banyak orang berkata: “aku cinta padamu”, dalam hatinya aku cinta wajahmu yang cantik jelita. “aku cinta padamu”, dalam hatinya aku cinta uangmu, fasilitasmu dan yang sejenisnya. Karena memang tidak sedikit manusia yang berprinsip bahwa di dunia ini tidak ada cinta yang murni dan sejati. Kehidupan di dunia ini penuh dengan permainan, drama dan panggung sandiwara.
Terhadap orang yang berkata atau mungkin berprinsip seperti ini, penulis pernah berkata langsung kalimat sebagai berikut “Kalau begitu Anda adalah produksi atau hasil percintaan yang kotor antara ayah dan ibu Anda”. Mendengar perkataan penulis ini, yang bersangkutan Nampak tidak setuju dan menolak, serta roman wajahnya juga menunjukkan demikian. Mengapa demikian? Sebab hati nurani (hati manusia yang masih bersinar atau bersih) mengakui bahwa cinta dan kasih saying itu tidak dapat dibeli. Orang inggris berkata “you can buy sex, but you cannot buy love. You can buy food, but you cannot buy appetite. You can buy a house, but you cannot buy a home”. Mengapa demikian? Sebab itu semua datang ari Allah SWT.
Oleh karena itu, tidak ada cinta yang murni dan sejati, serta tidak ada cinta yang sesungguhnya, tanpa cinta kepada Allah, Tuhan yang sebenar-benarnya Tuhan. Benarkah demikian?
Definisi Cinta
Cinta adalah rasa kasih sayang yang muncul dari lubuk hati yang terdalam untuk rela berkorban, tanpa mengharap imbalan apapun, dan dari siapapun kecuali imbalan yang datang dan diridhoi Allah SWT.
Boleh jadi seorang laki-laki berkata kepada seorang perempuan: “sungguh mati aku cinta padamu, dan akupun tahu bahwa engkaupun sebenarnya cinta padaku. Oleh karena itu mengapa kita tidak seperti orang-orang lain, bermalam panjang, jalan-jalan ke tempat-tempat hiburan dimana perlu sampai larut malam, singgah di hotel. Kalau hotelnya penuh, mengapa kita tidak bersantai di bawah pohon saja”. Demikian, tidak sedikit laki-laki dan perempuan dewasa ini yang bertingkah laku seperti ini. Umpamanya mereka pulang dari sekolah, mereka tidak langsung pulang ke rumah, tetapi bersantai-santai dulu di tempat, dimana mereka janji dan mereka senang. Apakah hubungan dua insan/i yang seperti ini disebut hubungan cinta yang murni? Tidak, sebab hubungan dua insan/I ini sebenarnya adalah hubungan nafsu birahi, bukan hubungan cinta. Mengapa? Sebab cinta yang sesungguhnya atau cinta murni, sekali lagi tidak mengharapkan imbalan apapun dan dari siapapun kecuali yang datang dan diridhoi Allah SWT. Kisah insan/i yang beramalam panjang, dan bersantai-santai di hotel atau di bawah pohon yang remang-remang itu biasanya bias mengakibatkan timbulnya “kerajinan tangan” dan ini menodai cinta, bukan merawat dan membina cinta. Keadaan yang seperti ini menurut Al-Qur’an harus dijauhi karena ini telah mendekati zina.
Cinta bukan tanpa sebab, karena itu cinta tidak buta. Cinta itu melek, ada sebab dan akibatnya. Oleh karena itu jika Anda ingin memiliki cinta yang murni, tulus dan abadi dari seseorang tentu Anda memerlukan penyebab yang membuatnya demikian. Jika Anda mencintai seseorang karena hal-hal yang bersifat duniawi, karena harta, tahta, wanita (seksualitas) da yang sejenisnya, tentu cinta Anda kepadanya hanya sepanjang penyebabnya masih ada. Itulah sebabnya ada pribahasa yang mengatakan “kalau ada uang abang saying, tidak ada uang abang melayang”.
Hakikat Cinta
Allah berfirman “Katakanlah jika bapak-bapak, (pembesar dan nenek moyang) kamu, anak-anakmu, saudara-saudara(konco-konco) mu, istri-istrimu, kaum kerabatmu, harta benda yang kamu cari, barang-barang dan perdagangan yang kamu takuti kerugiannya, serta rumah dan tempat tinggal yang kamu senangi lebih darip kamu cintai daripada Allah, dan Rasul-Nya serta jihad d jalan Allah, maka tunggulah saatnya sampai Allah mendatangkan keputusan (azab) Allah, dan Allah tidak menunjukki kaum yang fasik” (Q.S. At-taubah, 9:24).
Dari tafsir ayat di atas dapat diketahui ada lima tingkatan cinta, yaitu:
1. Cinta kepada Allah
Cinta yang pertama dan yang paling utama adalah kepada Allah, sebab dia adalah maha Esa, sumber dari segala sumber. Sumber apa yang ada, kepada-Nya segala sesuatu bergantung, sumber ilmu dan kekuasaan, sumber rezeki, dan kehidupan, dan seterunya, termasuk di dalamnya sumber cinta dan ksih sayang. Cinta kita kepada Allah, tentu kita cinta kepada firman atau wahyu-Nya. Cinta kepada prinsip dan ajaran yang berasal daripada-Nya.
2. Cinta kepada Rasul
Mengapa? Sebab para Rasul telah membuktikan cinta murni mereka kepada Allah. Mereka telah berjihad dan berhasil menundukkan, menguasai dan mengendalikan hawa nafsu dan keinginan mereka. Oleh karena itu mereka adalah tauladan hidup bagi kita. Cinta kepada Rasul tentu termasuk pula cinta kepada sunnah atau haditsnya juga.
3. Cinta kepada jihad fi sabilillah
Mengapa cinta jihad fi sabilillah bukan pada tingkatan kedua? Sebab di dalam berjihad di jalan Allah memerlukan contoh, dan suri tauladan. Itulah sebabnya Allah menegaskan seperti tersebut di atas. Mengapa kita harus cinta jihad fi sabilillah? Sebab cirri khas manusia adalah cinta jihad fi sabilillah (perjuangan di jalan Allah) dalam Islam di kenal semboyan: “Hidup itu adalah aqidah (punya keyakinan hidup) dan berjang menegakkannya”. Jangan manusia, hewan sekalipun berjuang supaya terus hidup. Binatang kucing, umpamanya ia berjuang siang dan malam untuk mencari makan supaya ia dapat terus hidup.
4. Cinta kepada manusia
Mengapa cinta kepada manusia, cinta kepada orangtua, anak dan istri, tidak berada pada tingkatan yang ketiga? Hal ini disebabkan keadaan mereka sendiri yang belum tentu berada, berperilaku, dan berbuat di jalan Allah. Oleh karena itu kita harus senang dan cinta untuk berjihad membawa keluarga kita ke jalan Allah. Dalam rangka cinta kepada manusia, disamping kita cinta kepada diri kita sendiri, anak, istri, dan anggota keluarga lainnya, tentu ynag sangat utama sekali adalah cinta kepada orangtua, tetapi tentu sesuai apa yang telah digariskan Allah dalam firman-Nya.
5. Cinta kepada harta, tahta dan sejenisnya
Mengapa ini tidak berada pada tingkatan yang keempat? Sebab harta dan tahta dapat di cari dan di usahakan, tetapi nyawa tidak demikian. Walaupun cinta kepada harta, tahta ini berada pada tingkatan terendah, tetapi hati manusia sering dikuasai oleh hawa nafsu. Akibatnya harta dan tahta di atas segalanya, naik pada tingkat yang pertama. Dalam Al-Qur’an ditegaskan, harta dan tahta bukan tujuan yang akan dicapai dalam hidup manusia, tetapi alat berjuang, jihad fi sabilillah.